“Baik ibu, silakan berganti pakaian dulu untuk pijatnya. Aku yang sedang nanggung ini dan belum mengantuk sama sekali memilih untuk berbaring di sofa, menonton tv sambil menunggu kantuk datang. Bokeb Satu penis lagi menempel di bibirku. Lagi-lagi. Si pirang mengelap wajahku dan mengoleskan masker hingga ke leher. “Kenapa bu?”, kata si pirang. Namun kupikir itu tak mengapa, toh nanti therapist-nya juga perempuan. Birahiku semakin naik. Ada yang kurang jelas ibu?”
“Ah, tidak…”, aku tidak terlalu mendengarkannya, pikiranku lebih tertuju pada ruangan ini dan apa yang akan aku alami nanti dan bagaimana hasilnya. Hingga vaginaku banjir. Dan kalau ibu memerlukan saya, bisa telepon resepsionis dengan menekan nomor nol di telepon di lorong. Aku mulai terlena dan mendesah sesekali. Ibu boleh pulang.”
Aku kembali ragu. Mereka melumuri punggung dan kakiku dengan minyak. Si pirang di belakangku menopang tubuhku. Setelah sesi pijat yang pertama, aku menghabiskan keseluruhan jatah promosi.
